Murabahah: pengertian, rukun-rukun, syarat dan dasar hukumnya
![]() |
Canva |
Apakah yang dimaksud murabahah?
Murabahah secara bahasa (etimologi) dapat berasal dari kata, “ar-ribhu” yang berarti tumbuh dan berkembang. Sedangkan menurut istilah (terminologi), Wahbah az-Zuhaili memberikan defenisi dari murabahah adalah jual beli dengan harga awal ditambah keuntungan. Artinya, sebuah transaksi jual beli (bai) yang harus disampaikan harga awal barang beserta keuntungan yang diambilnya. Contohnya, menjual sebuah mobil dengan harga 150 juta yang mana disampaikan terlebih dahulu oleh penjualnya bahwa harga awal mobil tersebut 130 juta, sedangkan 20 juta lainnya adalah keuntungan yang akan dia ambil. (baca juga tentang jual beli salam di sini)
Defenisi murabahah yang lebih spesifik dapat kita temui dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 19 ayat 1 huruf d yang berbunyi, “Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati”. Meskipun dengan redaksi yang berbeda, hal yang sama juga tertera dalam kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah yang telah diterbitkan oleh direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa, “Bai murabahah (bai’ul murabahah), jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya”. Melalui berbagai defenisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa akad murabahah merupakan jual beli dengan memberitahu pembeli harga awal barang (harga modal) kemudian menentukan tambahan (harga jual) yang akan menjadi keuntungan bagi penjual.
Apa saja rukun dan syarat murabahah?
Akad murbahah memiliki rukun dan syarat tertentu dalam pelaksanaanya. Rukun dan syarat ini menjadi penting untuk menentukan sah atau tidaknya akad murabahah. Adapun rukun-rukun murabahah yang dimaksud antara lain:
1. Ba’i (pihak penjual)
2. Musytari (pembeli)
3. Mabi (barang yang akan dijual)
4. Tsaman (harga)
5. Ijab qabul (pernyataan serah terima)
Adapun syarat-syarat akad murabahah menurut Syafi’i Antonio yaitu:
1. Penjual memberitahu biaya barang kepada pembeli
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3. Kontrak harus bebas dari riba
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. Artinya, setelah membeli barang dari supplier atau sebelum menjualnya ke konsumen/pembeli, penjual harus menyampaikan kekurangan dan kelebihan barang yang dijualnya.
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara utang atau kredit.
Sebagaimana yang kita ketahui, tanpa terpenuhinya rukun dan syarat di atas, maka akad murabahah dapat dianggap tidak sah. Oleh karena itu, dalam melakukan akad murabahah, harus memperhatikan rukun dan syarat tersebut.
Bagaimana hukum murabahah?
Hukum mudharabah menurut mayoritas ulama dibolehkan oleh syari. Mayoritas ulama ini dari kalangan sahabat, tabi’in, serta ulama-ulama dari berbagai mazhab dan aliran. Landasan diperbolehkannya murabahah berasal dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits tentang jual beli. Dalam potongan ayat ke-275 surah al-Baqarah Allah berfirman yang artinya, “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”. Tentu, jual beli yang dimaksud juga termasuk ke dalamnya akad murabahah. Selain dari surah al-Baqarah, Allah juga berfirman dalam surah An Nisa ayat 29 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.
Azzuhaili berpendapat bahwa murabahah termasuk ke dalam jual beli suka sama suka sebagaimana yang diterangkan dalam ayat di atas. Sedangkan dalam hadits, jual beli disampaikan melalui sabda Rasulullah Saw yang artinya, “Pendapatan yang paling afdal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. Hadits ini di dukung oleh hadits lainnya yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Syuaib yang mengatakan Rasulullah Saw bersabda, “Tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual”. Selain kedua hadits yang disampaikan sebelumnya, salah-satu hadits yang menjadi dasar bolehnya murabahah adalah hadits riwayat Ibnu Mas’ud. Riwayat dari Ibnu Mas’ud ini menyebutkan bahwa boleh melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh dirham harga pokok. Artinya secara keseluruhan hadits tersebut menjadi dasar bolehnya jual beli dengan menambah harga pokok untuk mendapat keuntungan (murabahah). Selain itu, karena murabahahtermasuk jual beli, maka hukumnya juga sama dengan jual beli yaitu boleh. (baca juga tentang akad isthisna di sini)
Selain berdasarkan Al-Quran dan hadits, bolehnya murabahah juga didasarkan pada ijma ulama. Transaksi ini sudah dipraktikkan di berbagai tempat tanpa ada yang mengingkarinya. Itu berarti para ulama menyetujuinya. Apalagi jika kita kaitkan dengan kaidah dalam fiqh muamalah yang artinya, “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya” maka tentu murabahah menjadi boleh dilakukan karena belum ada dalil yang spesifik melarang atau mengharamkannya.
Posting Komentar untuk "Murabahah: pengertian, rukun-rukun, syarat dan dasar hukumnya"