Al-bai atau jual beli dalam pandangan Islam: pengertian, rukun-rukun, syarat dan dasar hukumnya
![]() |
Canva |
Apakah yang dimaksud al-bai (jual beli)?
Al-bai (jual beli) secara bahasa (etimologi) berasal dari kata, “bai yubiu bay’ah” yang berarti menjual. Sedangkan menurut istilah (terminologi), khususnya istilah fiqh, bai atau jual beli disebut dengan istilah, “al-bai’u” yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Hampir sama dengan pengertian tersebut, Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni yang dikutip dari Az-Zuhaili mengatakan jual beli dapat didefinisikan sebagai kegiatan tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan dan menerima hak milik. Artinya, jual beli adalah tukar menukar barang dengan tujuan untuk memindahkan kepemilikan suatu barang. Jual beli termasuk ke dalamnya menukar suatu benda dengan benda lainnya atau menukarnya dengan alat pembayaran (uang). Misalnya, menukar satu liter beras dengan satu kg gula pasir atau uang sesuai dengan nilai barang tersebut.
Selain dari beberapa pengertian di atas, masih banyak ahli yang mengemukakan tentang pengertian al-bai (jual beli) meski dengan subtansi yang sama. Para ahli tersebut misalnya Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al- Akhyar miliknya yang mengatakan bahwa al-bai adalah saling tukar menukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan cara yang sesuai dengan syara. Selanjutnya, para ulama Hanafiyah juga menjelaskan bahwa al-bai atau jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang di bolehkan) secara syara atau yang telah disepakati. Sedangkan, pendapat yang paling singkat namun sangat subtantif yaitu menurut Imam nawawi dalam Al-Majmu bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
Apa saja rukun dan syarat al-bai (jual beli)?
Al-bai atau jual beli memiliki rukun dan syarat tertentu dalam cara pelaksanaanya. Adapun menurut Lubis, rukun dalam jual beli terdiri atas:
1. Adanya penjual dan pembeli: Penjual dan pembeli adalah dua orang atau lebih, berbentuk perorangan atau kelompok yang melakukan transaksi. Penjual adalah pihak yang ingin melepas atau menjual barang yang dimiliki sedangkan pembeli adalah pihak yang ingin memiliki barang yang dilepas oleh penjual.
2. Adanya uang atau benda: Objek jual beli dalam Islam adalah barang yang halal baik wujud maupun proses perolehannya. Benda yang dimaksudkan bisa berwujud maupun tidak berwujud, benda bergerak maupun tidak bergerak, dan benda yang terdaftar atau tidak terdaftar.
3. Adanya lafal ijab dan kabul: Ijab dan kabul adalah perkataan yang berisi kerelaan memberi dan kemauan menerima oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi dalam jual beli.
Adapun syarat-syarat dari al-bai (jual beli) antara lain:
1. Syarat orang yang sedang berakad antara lain berakal, maksudnya orang gila atau orang yang belum mumayiz (berusia 7 tahun) tidak sah mengerjakan akad tersebut.
2. Syarat yang berhubungan dengan ijab dan qabul, semua ulama sepakat unsur utama dalam jual beli yakni kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat dari ijab dan qabul. Para ulama fiqh berpendapat syarat-syarat dalam ijab qabul di antaranya: orang yang mengucapkan telah balig dan berakal, qabul yang dilaksanakan harus sesuai ijab, serta ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis.
3. Syarat barang yang diperjual belikan (ma’qud alaih), antara lain: barang ada atau tidak ada di tempat tapi penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang tersebut, serta dapat berfungsi atau difungsikan.
4. Barang sudah ada pemiliknya, boleh diserahkan pada saat akad berlangsung atau waktu yang ditentukan ketika transaksi berlangsung.
5. Syarat nilai tukar (harga barang), tergolong unsur yang mendasar dalam jual beli ialah nilai tukar, dan kebanyakan manusia memakai uang. Terkait dengan nilai tukar, para ulama fiqh membedakan al-staman dengan al-si’r. Staman ialah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, al-sir ialah modal barang yang seharusnya diterima semua pedagang sebelum dijual ke konsumen.
Bagaimana hukum al-bai (jual beli)?
Pada dasarnya, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Hukum ini berdasarkan pada asas yang berlaku dalam bidang muamalah, yaitu setiap transaksi dan segala persyaratannya itu diperbolehkan, kecuali ada ketentuan yang melarangnya. Pada dasarnya, banyak sekali ayat dalam Al-Quran yang menyampaikan tentang halalnya jual beli. Ayat-ayat ini misalnya pada surah al-Baqarah ayat 198 dan 275, an-Nisa ayat 29, at-Taubah ayat 24, an-Nur ayat 37, ash-Shaff ayat 10-11, dan al-Jumuah ayat 9-10. Allah Swt berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Artinya:
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, ialah: disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu ialah: penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
Melalui surah al-Baqarah ayat 275, Allah Swt menyampaikan bahwa jual beli itu berbeda dengan riba. Oleh karena itu, riba hukumnya haram sedangkan jual beli itu halal. Selain dari surah al-Baqarah tersebut, Allah juga berfirman dalam surah an-Nisa ayat 29 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.
Berdasarkan surah an-Nisa ayat 29, jelas sekali larangan untuk memakan atau mengambil harta sesama manusia dengan jalan yang bathil. Bathil yang dimaksud di sini adalah jalan yang tidak benar (tindak kejahatan misalnya menipu, merampok, judi, dsb). Lebih lanjut, dijelaskan pula bahwa diperbolehkan untuk memakan atau mengambil harta sesama melalui jalan perniagaan atau perdagangan yang baik. Baik yang dimaksud adalah berlakunya suka sama suka atau kerelaan hati dalam perdagangan tersebut, antaradim mingkum atau ridho sama ridho kata orang-orang. Sedangkan dalam hadits, jual beli disampaikan melalui sabda Rasulullah Saw yang artinya, “Pendapatan yang paling afdal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. Hadits ini di dukung oleh hadits lainnya yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Syuaib yang mengatakan Rasulullah Saw bersabda, “Tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual”. Wallahu alam!
Posting Komentar untuk "Al-bai atau jual beli dalam pandangan Islam: pengertian, rukun-rukun, syarat dan dasar hukumnya"